Jakarta, Padangkita.com - Koalisi Masyarakat Sipil meminta pihak kepolisian untuk mengusut secara serius serta transparan kasus penembakan enam orang laskar Front Pembela Islam (FPI) oleh petugas kepolisian di Tol Jakarta-Cikampek pada Senin (7/12/2020) dini hari.
"Koalisi meminta agar dilakukan penyelidikan independen yang serius terhadap penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, peristiwa ini harus diusut secara transparan dan akuntabel," ujar Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil, Muhammad Hafiz, dilansir dari Liputan6.com, Rabu (9/12/2020).
Hafiz menjelaskan, pihak menilai ada banyak kejanggalan dalam kasus yang menewaskan 6 laskar FPI it. Menurutnya, Koalisis Masyarakat Sipil bahkan mengendus adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kasus tersebut.
"Koalisi menilai ada banyak kejanggalan dalam peristiwa tersebut yang harus diusut karena diduga kuat terdapat pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak atas peradilan yang adil dan hak hidup warga negara," katanya.
"Konstitusi RI menjamin setiap orang yang melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia harus diajukan ke pengadilan dan dihukum melalui proses yang adil dan transparan," tambahnya.
Baca juga: Hari Pencoblosan, Ini Daftar 270 Daerah yang Ikut Pilkada Serentak 2020
Hafiz menyebut, alasan polisi memuntahkan peluru ke enam laskar FPI karena melakukan penyerangan juga menjadi pertanyaan.
"Jika memang terdapat dugaan memiliki senjata api dan tidak memiliki izin tentunya ini merupakan pelanggaran hukum dan harus diusut tuntas pula. Kejanggalan lainnya adalah CCTV di lokasi kejadian yang tidak berfungsi," kata Hafiz.
Menurut Hafiz, penggunaan senjata api oleh kepolisian seharusnya hanya merupakan upaya terakhir yang sifatnya untuk melumpuhkan dan hanya dapat dilakukan oleh anggota Polri ketika ia tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut.
Atau juga ketika anggota Polri tersebut sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selanjutnya, Hafiz juga melihat kejanggalan dari kronologi yang berbeda. Perisitiwa kejadian yang disampaikan pihak kepolisian, katanya, sangat bertolak belakang dengan apa yang disampaikan pihak FPI.
Lebih lanjut, ia pun mencontohkan sejumlah kasus serupa yang melibatkan pihak kepolisian.
"Dalam kasus pembunuhan YBD oleh polisi tahun 2011 yang ditangani LBH Jakarta misalnya, polisi berkilah YBD melawan petugas sehingga harus ditembak. Belakangan hasil otopsi menunjukkan bahwa tubuh YBD penuh luka penyiksaan karena diseret dan dipukuli oleh polisi dan pada akhirnya anggota kepolisian yang melakukan pembunuhan dihukum penjara, tapi sangat ringan," paparnya.
Selain itu, kata Hafiz, saat Operasi Pekat jelang Asian Games 2018 silam, kepolisian menembak 77 orang hingga tewas. Ketika diautopsi, ternyata asal tembakan dari belakang. Menurutnya, tindakan penembakan tersebut patut diragukan kegentingannya. [*/try]