Fajar tanggal 9 Desember 2020 belum muncul di ufuk timur. Tapi serangan sudah di mulai. Miliaran atau bahkan triliun uang mungkin sudah beredar di masyarakat. Sebagai kompensasi untuk mencoblos nantinya di pilkada serentak.
Entah dari mana istilah serangan fajar ini pertama kali muncul di rimba perpolitikan di Tanah Air. Saya tidak tahu. Tapi istilah ini sudah familiar di kalangan politisi atau pun masyarakat pemilih. Ini salah satu strategi jitu memenangkan kontestasi politik. Meski praktek ini adalah terlarang.
Secara terminologi umum, serangan fajar merupakan praktek membagi-bagi hadiah yang dilakukan oleh calon yang maju dalam pemilihan umum kepada masyarakat pemilih. Tujuannya adalah agar pemilih tersebut mencoblos ia di bilik suara nantinya. Praktek ini, lazimnya, dilakukan menjelang hari pemungutan suara. Bahkan, istilah fajar diambil karena hadiah itu dibagi beberapa saat fajar menyingsing. Bertepatan beberapa jam sebelum pemilih melakukan pencoblosan. Biasanya hadiah yang dibagikan itu bisa berupa uang dan bisa berupa bahan sembako.
Meski demikian, tak selamanya juga pembagian hadiah itu dilakukan beberapa jam saat pemilihan. Ada yang sehari sebelum pemilihan, bahkan ada yang dua hari sebelum pemilihan. Tepatnya di saat minggu tenang atau masa kampanye berakhir: 3 hari sebelum pemilihan.
Politik lancung ini telah merusak semangat demokrasi di Indonesia, yaitu jujur dan adil. Ini pelanggaran berat pemilu. Tapi, seringkali praktek tak terhormat ini bebas dari tuntutan hukum. Saya tak tahu: kenapa itu terus dibiarkan oleh penegak hukum dan lembaga pengawas pemilu. Jangan-jangan mereka juga kena serangan fajar juga.
Politik uang ini menyebabkan maraknya korupsi di Indonesia. Untuk melakukan serangan fajar, para kandidat tentu harus memiliki modal yang besar. Apalagi, saat ini, masyarakat tak mau lagi dibayar Rp 20-50 ribu per orang. Minimal, harga satu suara mencapai Rp 100 ribu-200 ribu. Bayangkan, berapa miliar uang yang harus digelontorkan agar bisa meraih suara pemilih untuk memenangkan kontestasi.
Parahnya, uang itu berasal dari cukong politik, yaitu pemilik modal yang mendukung salah satu calon. Biasanya, cukong politik ini bekerja seperti ijon. Memberikan uang di depan, tapi nanti setelah menang, calon tersebut harus membayar kompensasi. Kompensasinya berlipat-lipat dari jumlah uang yang digelontorkan oleh mafia politik ini.
Bagi calon yang diijon, setelah menang, mereka akan terikat dengan cukong tersebut. Banyak kasus, cukong ini akan meminta berbagai proyek-proyek yang ada di pemerintahan, izin-izin konsesi sumber daya alam dan posisi-posisi strategis di pemerintahan.
Bayangkan, selama lima tahun, mereka menjadi benalu dalam pemerintahan tersebut. Di sinilah korupsi itu berawal. Oleh karena itu, praktek serangan fajar ini harus ditindak secara tegas.
Pemilihan kepala daerah di Sumbar juga sangat rawan dengan praktek serangan fajar. Bahkan, sebelum serangan fajar itu terjadi, beberapa kandidat kepala daerah sudah mengelontorkan uang untuk memberikan hadiah kepada masyarakat. Beredarnya kesaksian dan laporan masyarakat dalam kasus pembagian beras dan uang oleh kandidat kepala daerah, merupakan salah satu indikasi awal akan terjadi pembagian yang masif di detik-detik akhir sebelum pencoblosan.
Kita berharap masyarakat Sumbar tak terpengaruh dengan serangan fajar ini. Selayaknya, masyarakat tidak terlibat dalam praktek lancung ini. Jika ada kandidat yang melakukan serangan fajar, sebaiknya dilaporkan pada pihak-pihak yang berwenang. Ingat, banyak kasus korupsi oleh kepala daerah di Tanah Air, berawal dari praktek politik uang ini. Dan semua daerah yang kepala daerahnya korupsi, pasti rakyatnya beriko sengsara dan daerahnya tak maju-maju dalam pembangunan.
Mari kita berdemokrasi dengan jujur dan adil. Bersainglah dengan kualitas dan kapabilitas diri. Kepemimpinan itu adalah amanah, bukan jabatan memperkaya diri. Hentikan serangan fajar. Karena ujung-ujungnya, bagi yang melakukannya akan sengsara juga pada akhirnya.
Akhirnya, selamat berdemokrasi. Pilihlah kandidat yang jujur dan adil. Jangan lupa, jaga protokol kesehatan. [*]
Wiko Saputra
Praktisi Ekonomi dan Perantau Minang