Batusangkar, Padangkita.com - Masyarakat Jorong Kajai, Nagari Tepiselo, Kecamatan Lintaubuo Utara, Kabupaten Tanah Datar membutuhkan perbaikan lima unit bendungan atau ‘kapalo banda’ untuk irigasi persawahan.
Perbaikan bendungan ini sangat mendesak, karena sejak rusak parah diterjang galodo tahun 2018 silam, sekitar 250 hektare sawah di jorong itu tidak terairi.
Aliran galodo tahun 2018 waktu itu bukan hanya merusak lima bendungan kepala bandar, tetapi juga merusak satu unit jembatan di Jorong Kajai.
Sejak saat itu, lima jaringan irigas atau ‘tali banda’ yang biasanya mengaliri persawahan di Jorong Kajai, tidak lagi berfungsi lagi. Otomatis, sejak saat itu warga petani tidak lagi memproduksi padi, karena tidak bisa digarap disebabkan tidak adanya air yang mengairi.
Kepala Jorong Kajai, Yulizar, menyebutkan akibat minimnya pasokan air, masyarakat kini banyak melakukan alih fungsi lahan. Lahan yang dulunya sawah, kini diubah menjadi ladang.
Pada umumnya, kata dia, petani kini menanam jagung dan ubi jalar. Namun, hal itu baru dilakukan setahun terakhir. Sebelum itu swah kering tersebut hanya ditumbuhi duri berbatang.
“Biasanya masyarakat kita menghasilkan beras, namun kini membeli beras. Jikapun hasil dari jagung menjanjikan, tetap hasil penjualan jagung itu kembali dibelikan untuk beras. Namun, tentu kebiasaan berubah, dari menyimpan dan menjual beras, sekarang berubah menjadi membeli,” kata Yulizar, Senin (17/1/2022).
Lebih jauh ia mengungkapkan, kelima bendungan yang rusak itu antara lain, Kapalo Banda Limau Sundai di Jorong Mudiak Lindan, Kapalo Banda Koto di Jorong Mudiak Lindan dan Kapalo Banda Parit Rantang di Jorong Ujung Tanah.
Berikutnya, Kapalo Banda Sawah Loweh di Jorong Ujung Tanah, dan Kapalo Bandar Kodok di Jorong Kajai.
"Kelima banda itu berbeda letaknya namun tetap untuk mengairi sawah masyarakat kita yang ada di Jorong Kajai, bahkan sampai ke sawah masyarakat di Sawah Gadang, Nagari Lubuk Jantan," terangnya.
Dari kelima kapalo banda itu, lanjut dia, baru satu, Kapalo Bandar Parit Rantang yang diperbaiki pada tahun 2020 lalu, dan pada tahun 2021 dilanjutkan perbaikan untuk jaringan irigasi atau tali bandanya.
"Bantuan (perbaikan) itu dari Pemkab melalui instansi Dinas Pertanian yang pengerjaannya diserahkan kepada kelompok tani pengguna bandar itu sendiri," jelasnya.
Sedangkan untuk empat kapalo banda lainnya, hingga saat ini masih belum tersentuh perbaikan. Padahal masyarakat berharap adanya penanganan cepat.
"Kita sudah ajukan perbaikan, bahkan setiap kali musrenbang juga terus diprioritaskan, namun masih belum ada hasilnya hingga saat ini," ujar dia.
Meskipun secara swadaya masyarakat berusaha membuat bendungan darurat, namun kata Yulizar, saat air Batang Selo besar terutama saat hujan lebat, bendungan sementara itu kembali rusak.
"Kita berharap Pemkab melalui dinas terkait agar dapat segera mungkin membantu perbaikan irigasi di sini. Agar warga kembali memproduksi padi sebagai kebutuhan makanan pokok. Kita ingin agar kebiasaan masyarakat seperti dahulu yang bisa menyimpan padi tetap berlangsung, hingga masyarakat tidak terbebani dalam memenuhi kebutuhan pokok," harap Yulizar.
Eka Yeni, Penyuluh Pertanian Lapangan ( PPL) Dinas Pertanian Tanah Datar Tepi Selo membenarkan kondisi itu. Dia juga menyebutkan, tidak hanya irigasi yang saat ini butuh perbaikan, tetapi juga jembatan yang rusak, karena jembatan itu sangat penting bagi masyarakat untuk beraktivitas.
"Memang benar baru satu kapalo banda yang diperbaiki, sisanya masih belum. Kita sudah laporkan hal itu sebelumnya, namun masih belum ada realisasi. Bahkan banda itu tidak hanya mengaliri sawah di Jorong Kajai saja, ada yang sampai ke nagari tetangga," ujar dia kepada Padangkita.com.
Eka Yeni menjelaskan, untuk satu tahun panen saja, kerugian masyarakat yang mengelola sawah di lima tali band bisa mencapai ratusan juta.
Baca juga: Ini Lima Warisan Geologi yang Ditetapkan Kementerian ESDM di Tanah Datar
"Jika seandainya satu hektare dengan 40 gantang benih menghasilkan empat ton saja, berarti jika 250 hektare ada seribu ton. Jika harga padi diambil Rp5.000 per kilo dikali empat ton sudah Rp20 juta per hektare. Berarti gambaran kerugian masyarakat Rp20 juta dikali 250 hektare. Itu untuk satu kali masa panen saja," jelasnya. [djp/pkt]