
Tahanan korupsi (foto: Ist)
Padangkita.com - Pada tahun 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil melakukan 19 operasi tangkap tangan kepada terduga pelaku tindak pidana korupsi. Ini merupakan jumlah terbanyak selama komisi anti rasuah tersebut berdiri.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan kasus tangkap tangan pada 2017 melampaui pengangkapan pada tahun sebelumnya. KPK pun akhirnya menetapkan 72 tersangka dengan beragam latar belakang yang beragam selama tahun 2017.
"Selama tahun 2017 KPK melakukan 114 kegiatan penyelidikan, 118 penyidikan dan 94 kegiatan penuntutan," katanya dikutip dari situs KPK, Minggu (31/12/2107).
Dilansir dari berbagai sumber, dari 72 jumlah tersangka terdapat 2 nama keturunan Sumatera Barat. Mereka adalah mantan Dirut Garuda Indonesia Emirsyah Satar dan Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialias Akbar.
Emirsyah Satar lahir dari pasangan Minangkabau. Ayahnya berasal dari Sulit Air, Solok dan ibunya berasal dari Bukittinggi. Sedangkan Patrialis Akbar lahir di Padang, Sumatera Barat, 31 Oktober 1958.
KPK menetapkan Emirsyah Satar sebagai tersangka dugaan suap pada 19 Januari 2017. KPK menduga mantan dirut Garuda Indonesia tersebut menerima suap dari rekanan bisnisnya. Ia diduga menerima sejumlah uang dan barang senilai hampir Rp20 miliar.
Kasus suap yang menimpa Emirsyah Satar tersebut menurut Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) Laode Muhammad Syarif adalah tindakan korupsi lintas negara. Meski demikian, Hingga saat ini mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia 2005-2014 belum juga ditahan.
Kabag Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha mengatakan bahwa para penyidik di KPK memiliki berbagai pertimbangan terkait belum juga ditahannya Emirsyah Satar tersebut.
Setelah itu, Operasi penindakan KPK di awal tahun 2017 mengamankan Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar. Patrialis diduga terjerat kasus korupsi karena menerima suap terkait permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Pada Juli 2017, perkara yang menjerat Patrialis disidangkan. Ia didakwa menerima hadiah berupa uang sejumlah USD 20 ribu, uang USD 20 ribu, USD 20 ribu, uang USD 10 ribu, dan Rp 4 juta.
Selain itu, mantan politis PAN itu disebut menerima janji pemberian uang sebesar Rp 2 miliar. Dalam dakwaan, Jaksa KPK menilai Patrialis menerima suap agar mempengaruhi putusan uji materi perkara nomor 129/PUU-XII/2015. Pada 4 September 2017, Patrialis divonis bersalah.
Hakim menilainya terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Patrialis divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan. Ia sendiri menerima putusan dan tidak mengajukan banding.