Padangkita.com - Berdasarkan catatan sejumlah literatur, pada tahun 1819 di Kota Padang sudah terdapat ratusan orang-orang Tionghoa yang mendiami sejumlah wilayah. Jumlahnya sebanyak 200 orang. Mereka menjadi bagian dari warga kota: Eropa/Belanda, Nias, Melayu, Bengalen dan lainnya.
Jumlah orang-orang Tionghoa terus berkembang dan bertambah. Pada akhirnya orang-orang Tionghoa memiliki pemimpin pada tahun 1864 yang diangkat pemerintah sebagai Kapitein dan Letnan Chinezen.
“Jumlah orang Tionghoa di Padang pun meningkat pada tahun 1869. Jumlahnya mencapai 300 orang pada waktu itu,” seperti tertulis dalam catatan poestaka depok.
Baca juga: Sejarah Kedatangan Orang Cina di Kota Padang (1)
Dengan semakin meningkatnya jumlah orang Tionghoa di Kota Padang saat itu, pemerintah kolonial Hindia belanda mulai menata pemukiman berdasarkan kluster atau kelompok masyarakat.
Penataan kelompok masyarakat ini didasarkan atas dikeluarkannya Besluit van den Gouverneur van Sumatra's Westkust No. 758 tanggal 30 Oktober 1884 tentang Penetapan Wilayah untuk Orang Cina di Kota Padang.
"Sepanjang jalan Cantioe hingga Poeloekaram dan batas-batas utara persi no. 1531, 1530 dan 166, ke timur dan perbatasan utara-timur kiri persil no. 1561, batas antara Poeloe Ayer dan Kampong Palinggam; selatan, sungai besar Batang Arau; ke barat Kali Ketjil, pipa waterleiding garis yang ke arah barat sejauh seratus meter dari sisi barat dari jalan P'oeloe Karam dan melalui Pondok ke tempat itu garis jalan melalui Kampong Sablah dan lebih lanjut," tulis laporan seperti dikutip dari poestaka depok.
Lambat laun, jumlah orang-orang Tionghoa di Padang terus meningkat, hal ini tidak lepas dari pertumbuhan ekonomi di Kota Padang saat itu. Peraturan tahun 1884 tersebut kemudian diperbarui berdasarkan Beslit No. 34 tangga 3 Februari 1891 yang mengatur batas-batas baru.
Dalam beslit ini perkampungan orang-orang Tionghoa di Wijk-2 adalah sebagai berikut, ke utara: jalan Kamping Djawa Dalam; Ke timur: jalan Kampong Jawa, mulai dari persimpangan jalan melalui Kampong Jawa Dalam dengan jalan memotong di sekitar
Blakang Tangsi. Ke selatan, dari persimpangan jalan dari Kampong Djawa di sekitar Blakang Tangsi hingga ke sebelah jembatan di atas pipa waterleiding Blakang Tangsi; Ke barat: Sepanjang pipa waterleiding belakang kuburan orang Eropa dari jembatan hingga Blakang Tangsi ke persimpangan dengan jalan dari Kampong Jawa Dalam.
Untuk lingkungan orang-orang Arab, Kling, Hindu dan India lainnya baru diatur kembali berdasarkan beslit tanggal 20 Maret 1902, yaitu: Batang Araurivier mulai dari jembatan dekat Javabank hingga jembatan besar, jalan yang menuju Emmahaven; jalan ini ke arah barat sampai Gantingweg, Ranah, Alang-Lawas, Koeboeran-Dagang, Old-Kantineweg, Pasar Ambatjang, Goeroen-Ketjil ke jembatan batu di Gereja Katolik Roma dan dari sana sepanjang Kolangleiding hingga jembatan belakang Javabank.
Sisa daerah ini, ditutup sebagaimana dalam keputusan terdahulu No. 758 tanggal 30 Oktober 1884 yang akan ditunjuk sebagai lingkungan bagi Chiueezen untuk selanjutnya. Selain itu, bagian dari lingkungan Poeroes, ke utara dari jalan utama ke Oedjoeng Karang persil 628 dan persil 297 hingga ke tepi laut; ke timur: jalan besar Oedjoeng-Kaiang; ke selatan: jalan besar persil 1495 dan 1565; ke barat adalah laut.
Pecinan tidak hanya di Kota Padang. Pengaturan lingkungan orang-orang Tionghoa diatur hingga kota-kota kecil seperti Painan, Batang Kapas, Air Bangies, Poelau Tello, Pariaman, Fort de Kock, Padang Pandjang, Fort van der (Japellen, Pajakumbu dan Solok. Selanjutnya pengaturan juga dilakukan di Sibolga, Batang Toru, Singkel, Goenoeng Sitoli, Natal, Padang Sidempuan dan Panjaboengan.
Besluit van den Gouverneur van Sumatra's Westkust No. 758 tanggal 30 Oktobcr 1884 juga mengatur tentang wilayah pecinan seperti di Padang Sidempuan dan Fort de Kock.
Pengaturan ini di Padang Sidempuan meliputi ke utara yakni sisi barat dan sisi timur sejauh 100 meter jalan besar dari Padang Sidempuan menuju Sibolga. Ke timur sepanjang sisi jalan sebelah utara sejauh 200 meter hingga ke benteng. Ke selatan sebelah sisi Aek Sibontar hingga jembatan Aek Rukare.
Sementara di Fort de Kock adalah sebagi berikut: ten Noorden en ten Westen de weg loopende van af den weg van Pajakombo tot aan den tembok; ten Oosten de pasar en de weg, die vandaar loopt tot aan den weg naar Pajakombo; ten Zuiden de lijn getrokken van de tembok tot aan het telegraafkantoor en vandaar tot op de pasar.
Pengaturan pecinan ini tidak terlalu jelas, kecuali pengaturan lingkungan untuk orang-orang Eropa/Belanda.
Lingkungan komunitas sesungguhnya terbentuk secara alamiah baik bagi penduduk pribumi maupun penduduk Tionghoa, Arab, Kling dan lainnya.
Yang jelas lingkungan orang-orang Eropa/Belanda yang terus berkembang justru penggusuran yang terjadi. Penetapan zona untuk Tionghoa malahan lebih bermotif pembatasan orang-orang Tionghoa yang di satu sisi agar lebih mudah diawasi dan
di sisi lain tidak berbaur dengan penduduk pribumi yang jumlahnya jauh lebih besar.
Boleh jadi pengawasan ini dilakukan karena khawatir terjadinya kerusuhan sepeerti yang pernah terjadi di Batavia dan Crawang di era sebelumnya.