Padangkita.com – Perubahan bentuk negara dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan sistem pemerintahan yang terpusat pada 17 Agustus 1950 telah menimbulkan kekecewaan masyarakat daerah.
Perubahan bentuk negara ini seolah memupus impian pembentukan negara federal_ ruang daerah mengatur daerahnya lebih leluasa.
Pembentukan pemerintahan yang terpusat, membuat pembangunan hanya berfokus di pusat pemerintahan di Jakarta, Jawa lebih luas.
Sementara itu, daerah di luar Jawa seolah dianaktirikan. Daerah merasa dikhianati dan diperlakukan tidak adil.
Daerah sebagai penghasil ¾ pendapatan negara, sebut Audrey Kahin dalam buku Dari Pemberontakan ke Integrasi (Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998), malah tidak mendapatkan dana dari pusat sehingga seolah dikorbankan demi kepentingan pembangunan Jawa.
Kekecewaan itu diperparah dengan ketidakcocokan antara Sukarno-Hatta.
Keinginan Hatta untuk berhenti sebagai wakil presiden yang disuarakan sejak Juli 1956 membuat masyarakat daerah semakin cemas, khususnya Sumatera Tengah. Ketiadaan Hatta di pusat pemerintahan dikhawatirkan membuat suara masyarakat daerah semakin tenggelam.
Masyarakat Sumatera Tengah yang umumnya merupakan penganut Islam pendukung Masyumi juga mengkhawatirkan kedekatan Presiden Sukarno yang dekat dengan PKI.
Perasaan dikhianati yang merasuki masyarakat Minangkabau di awal 1950-an, juga dirasakan dalam bidang militer. Semenjak pemerintahan dilakukan secara terpusat juga membuat kehidupan para prajurit merana.
Apalagi dengan upaya rasionalisasi terhadap pasukan militer yang berdampak pada pengerucutan dan akhirnya pembubaran Divisi Banteng mengecewakan para perwiranya.
Padahal, tulis Audrey, divisi sudah ikut berjuang mempertahankan Republik dari penjajah Belanda. Kekecewaan inilah yang akhirnya memicu pembentukan Dewan Banteng.
Paparan Audrey juga menyebutkan, sejumlah mantan perwira Divisi Banteng bersama Komandan Divisi Banteng Ahmad Husein kemudian melakukan reuni.
Reuni yang diadakan di Padang pada 20-24 November 1956 itu juga dihadiri oleh tiga panglima Divisi Banteng, yaitu Dahlan Djambek, Ismael Lengah, dan Dahlan Ibrahim.
Pada kesempatan itu juga hadir panglima Komando Sumatra Simbolon dan temannya dari Sumatra Selatan, panglima TT II Letnan Kolonel Barlian, juga kolonel Sadikin yang mewakili Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat.
Rapat terakhir reuni pada 24 November 1956 menghasilkan kesepakatan yang ditandatangani oleh 612 veteran Divisi Banteng yang hadir.
Kesepakatan itu dikenal dengan nama Piagam Banteng yang memusatkan tuntutannya pada empat bidang utama: masalah negara pada umumnya, masalah khusus untuk Sumatra Tengah, masalah pertahanan daerah, dan masalah-masalah sosial ekonomi rakyat daerah.
Pada tingkat nasional mereka menuntut melaksanakan perbaikan yang cepat dan progresif di segala bidang, terutama dalam kepemimpinan Angkatan Darat dan kepemimpinan negara.
Sementara itu, untuk Sumatra Tengah, mereka menuntut komando pertahanan daerah dan menghidupkan kembali Divisi Banteng lama.
Selain itu, mereka juga menuntut penghapusan sistem pemerintahan yang terpusat yang telah menyebabkan sistem birokrasi yang tidak sehat, kemacetan pembangunan daerah, dan hilangnya inisiatif daerah.
Reuni juga membentuk Dewan Banteng yang bertugas melaksanakan Piagam Banteng. Dewan ini beranggotakan 17 orang, yaitu delapan di antaranya dari perwira aktif atau pensiun, dua dari polisi, dan tujuh lainnya dari kalangan sipil, ulama, pimpinan politik, dan pejabat.
Pada minggu-minggu sesudah reuni, anggota Dewan Banteng berusaha menyerahkan tuntutannya kepada pemerintah pusat, tetapi ditolak.
Pengunduran diri Mohammad Hatta sebagai wakil presiden menjadi pendorong akhir untuk mengambil tindakan yang menentukan di Sumatra Barat.
Kurang dari tiga minggu kemudian, pada malam hari 20 Desember, anggota Dewan Banteng dan pejabat militer dan sipil lainnya berkumpul di Bukittinggi.
Pada kesempatan itu, Gubernur Sumatra Tengah Roeslan Moeljoharjo secara resmi menyerahkan kekuasaannya kepada komandan Brigade Banteng Letkol Ahmad Husein.
Pembentukan Dewan Banteng kemudian diikuti oleh daerah lainnya. Di Medan, Simbolon membentuk Dewan Gajah pada 22 Desember 1956. Pertengahan Januari tahun berikutnya, Kolonel Barlian yang merupakan panglima komando militer Sumatra Selatan membernutk Dewan Garuda di Palembang.
Dewan-dewan tersebut kemudian bergabung membentuk Dewan Perjuangan.
Puncak dari ketidakpuasan daerah terhadap pusat adalah dibacakannya ultimatum oleh Ketuan Dewan Perjuangan Hussein di Padang 10 Februari 1958.
Pemerintah pusat pun denggan tegas menolak ultimatum itu dan membebastugaskan perwira-perwira militer yang mendukung aksi tersebut di antaranya Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Ahmad Husein, Kolonel Dahlan Djambek, Kolonel Maluddin Simbolon, serta memerintahkan penangkapan atas mereka.
Setelah batas waktu ultimatum tidak dipenuhi oleh pusat, pada 15 Februari 1958, Kolonel Husein mengatasnamakan Dewan Perjuangan, mengumumkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI.