Nasib Kepala Daerah Berstatus Terpidana

Opini Padangkita.com: Kolom dan Opini M Nurul Fajri

Karikatur M Nurul Fajri. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Beberapa waktu terakhir status Bupati Pesisir Selatan (Pessel), Rusma Yul Anwar dipertanyakan akibat telah keluarnya petikan putusan kasasi atas kasus pidana lingkungan yang menjeratnya. Sebelumnya, Rusma Yul Anwar dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan usaha dan kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan” atau melanggar Pasal 109 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pokok-pokok Lingkungan Hidup oleh Pengadilan Negeri Padang.

Yang bersangkutan kemudian dijatuhi hukuman pidana 1 tahun penjara, denda Rp1 miliar dan subsider 3 bulan kurungan. Putusan inilah yang kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Padang dan Mahkamah Agung.

Adapun yang bersangkutan baru saja dilantik pada Jumat, 26 Februari 2021, sehingga membuat statusnya sebagai bupati dipertanyakan. Apakah Rusma Yul Anwar masih tetap dapat menjabat sebagai Bupati Pesisir Selatan atau haruskah terhadap yang bersangkutan diberhentikan dari jabatannya?

Pemakzulan

Terhadap putusan Mahkamah Agung yang keluar berjarak hanya dua hari dari hari pelantikan Rusma Yul Anwar sebagai Bupati Pesisir Selatan, sejatinya tidaklah menjadi persoalan. Meskipun jarak waktu yang dekat, semestinya hal itu tidaklah menjadi persoalan berarti dan dapat dijadikan alasan kenapa Rusma Yul Anwar tetap menjabat sebagai bupati sampai tulisan ini dibuat.

Merujuk pada Pasal 164 ayat (8) Undang-Undang tentang Pilkada (UU Pilkada), yang mengharuskan kepala daerah atau wakil kepala daerah terpilih yang berstatus terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik, kemudian saat itu juga diberhentikan sementara sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Ketiadaan surat keputusan pemberhentian sementara pada saat setelah yang bersangkutan dilantik memang jadi pertanyaan sendiri perihal kepatuhan Pemerintah Pusat dalam melaksanakan undang-undang.

Akan tetapi, hal tersebut tidak menjawab persoalan, apakah maksud pemberhentian sementara tersebut bertujuan untuk memudahkan dalam mengeksekusi putusan pengadilan atau memang dimaksudkan untuk yang bersangkutan menjalani masa hukumannya.

Dalam konteks ini, terlepas dari kelalaian atau kesengajaan pemerintah pusat tidak menerbitkan keputusan pemberhentian sementara terhadap Rusma Yul Anwar, nasib yang bersangkutan apakah tetap dapat atau tidak dapat lagi menjabat sebagai bupati tetaplah ditentukan menurut Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda) dengan dua proses yang berbeda.

Pertama, Rusma Yul Anwar tidaklah dapat diberhentikan sementara sebagaimana diatur pada Pasal 83 ayat (1) UU Pemda. Yang mana pasal tersebut menyatakan, “kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Ada dua kondisi yang menyebabkan tidak dapat dilakukannya pemberhentian sementara terhadap Rusma Yul Anwar yakni, tindak pidana yang dilakukan oleh yang bersangkutan tidak termasuk dalam tindak pidana yang disebutkan pada Pasal 83 ayat (1) UU Pemda dan ketentuan Pasal 83 ayat (1) UU Pemda berlaku untuk situasi di mana proses pidana yang masih berjalan terhadap kepala daerah dan/atau kepala daerah. Sementara terhadap Rusma Yul Anwar proses pidananya telah selesai atau telah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Jika tetap berpedoman pada pemberhentian sementara, maka semestinya merujuk pada Pasal 164 ayat (8) UU Pilkada yang mana sampai hari ini tidak dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.

Kedua, terdapat dua proses yang sifatnya langsung oleh Pemerintah Pusat serta melalui proses politik di DPRD. Pemberhentian secara langsung oleh Presiden diatur pada Pasal 79 UU Pemda. Sementara pemberhentian melalui proses politik lewat paripurna DPRD dan mendapatkan putusan Mahkamah Agung yang memutus pendapat DPRD untuk memberhentikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diatur pada Pasal 80 UU Pemda.

Adapun untuk pemberhentian secara langsung oleh Presiden, Pasal 79 UU Pemda mempersyaratkan kondisi materil di mana kepala daerah dan/atau kepala daerah tidak dapat lagi melanjutkan masa jabatannya karena: meninggal dunia, permintaan sendiri, berakhirnya masa jabatan, dan tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan. Sementara itu, untuk pemberhentian lewat proses politik melalui DPRD dan Mahkamah Agung yang memutus pendapat DPRD untuk memberhentikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana ketentuan Pasal 80 UU Pemda mempersyaratkan kondisi materil di mana: kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah, tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b UU Pemda, melanggar larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), kecuali huruf c, huruf i, dan huruf j UU Pemda serta melakukan perbuatan tercela.

Kedua, proses di atas berserta dengan syarat materilnya, apabila dimaknai secara mendalam terdapat ruang penafsiran yang amat terbuka. Kondisi paling dekat dengan situasi hari ini terhadap Rusma Yul Anwar adalah sebagaimana yang diatur pada Pasal 79 UU Pemda. Kemungkinan yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan. Akan tetapi, kondisi materil seperti ini bisa saja disiasati dengan melimpahkan tugas dan kewenangan kepala daerah kepada wakil kepala daerah sebagaimana Pasal 66 ayat (2) UU Pemda.

Apalagi tidak ada ketentuan seberapa lama batas waktu yang wajar dalam pelimpahan tugas dan kewenangan kepala daerah kepada wakil kepala daerah. Walau UU Pemda hanya menyebutkan hal itu hanya dapat dilakukan dalam kondisi kepala daerah menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara, bukan untuk menjalankan sanksi pemidanaan. Akan tetapi larangan menjalankan tugas dan kewenangan bagi kepala daerah dalam UU Pemda hanya diperuntukan bagi kepala daerah yang menjalani masa tahanan. Bukan yang menjalani sanksi pidana.

Apabila kondisi ini tetap dibiarkan dan kejaksaan telah mengeksekusi putusan pengadilan, bukan tidak mungkin ketika Rusma Yul Anwar menjalani masa hukumannya, yang bersangkutan tetap menjalankan tugas dan kewenangan kepala daerah dari balik jeruji besi. Sebuah situasi yang mungkin bisa saja terjadi, sehingga klausul tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan dapat dimentahkan. Terhadap kondisi tersebut di atas, semuanya tentu akan sangat bergantung dengan sikap dan kemauan politik DPRD Kabupaten Pesisir Selatan dan Pemerintah Pusat dalam mengambil keputusan.

Sementara itu, terhadap kondisi materil yang dipersyaratkan Pasal 80 UU Pemda, terdapat perbedaan waktu dan kondisi di mana perbuatan pidana yang dilakukan oleh Rusma Yul Anwar terjadi ketika yang bersangkutan menjabat sebagai wakil kepala daerah. Adapun masa jabatan tersebut telah selesai diampu olehnya. Dengan kata lain, jika kemudian upaya pemakzulan terhadap beliau sebagai kepala daerah tetap dilakukan sebagaimana ketentuan Pasal 80 UU Pemda, maka proses tersebut akan berpotensi keliru secara hukum. Sebab subjek yang “diadili” tidak melakukan tindakan yang kemudian membuatnya dijatuhi sanksi pidana pada saat menjadi sebagai kepala daerah. Di mana jabatan tersebut baru resmi diduduki sejak Jumat, 26 Februari 2021.

Kondisi ini menarik untuk ditunggu kelanjutannya. Secara politik akan menghadirkan dinamika lanjutan yang akan menjadi pembelajaran untuk seluruh daerah di Indonesia. Selain itu juga akan ditemukan beberapa kelemahan dalam UU Pemda dan UU Pilkada. Solusi cepat terhadap permasalahan hukum ini tentu harus segera diselesaikan. Terutama dari sisi kepastian hukumnya. Agar daerah dapat terhindar dari jebakan dalam ketegangan politik lokal dalam persoalan-persoalan seperti di atas. Di mana dampaknya tentu akan dirasakan daerah itu sendiri dengan kehilangan fokus dalam melaksanakan agenda pembangunan daerah. Akibat elitenya yang berfokus menyelesaikan permasalahan pribadi dan ketegangan politik lokal. (*)


M Nurul Fajri
Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara dan Alumni Erasmus+ Scholarship Program Pada Radboud University, Netherlands

Baca Juga

Calon Wali Kota Padang
Calon Wali Kota Padang
Intelektual, Politik dan Tanggung Jawab
Intelektual, Politik dan Tanggung Jawab
Meneropong Lembaga Survei Politik di Indonesia
Meneropong Lembaga Survei Politik di Indonesia
Menyiapkan Gubernur Sumbar 2024
Menyiapkan Gubernur Sumbar 2024
Ranah – Rantau yang Saling Merindu
Ranah – Rantau yang Saling Merindu
Tradisi Mudik dari Perspektif Ekonomi Politik
Tradisi Mudik dari Perspektif Ekonomi Politik