Padangkita.com – Ernita dan Aslinda tak kuasa menahan air mata di hadapan awak media di Kantor LBH Padang, Jl. Pekanbaru, Ulak Karang Padang, Senin (20/11/2017). Secara bergantian mereka menceritakan peristiwa penangkapan suami mereka masing-masing terkait kasus penebangan dua batang pohon di tanah ulayat sendiri.
“Masa cuma karena menebang dua batang pohon di tanah ulayat sendiri, suami saya masih ditahan sampai saat ini,” ujar Ernita tersedu-sedu.
Pada 27 September lalu, Erdi (60), suami Ernita, ditangkap oleh tim gabungan Badan Konsevarsi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Polisi Kehutanan. Erdi diduga melakukan pembalakan liar di Kawasan Cagar Alam milik negara di Jorong Aia Tigo Raso, Jorong Muko-muko, Nagari Koto Malintang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam. Agusri Masnefi (47) (suami Aslinda) kemudian juga ikut ditahan sebagai pihak yang menyuruh Erdi menebang pohon.
“Malamnya uda pergi menjenguk Datuk Samiak (Erdi), dan sampai sekarang tak kunjung pulang,” kata Aslinda.
Ibu beranak lima ini menerangkan bahwa ia dan suaminya tidak berniat untuk melakukan pembalakan liar. Tujuan menebang pohon hanya untuk penyambung hidup keluarga.
Tubuh Masnefi yang mulai menua, tak sanggup lagi untuk berjualan sate keliling. Maka terpikirlah rencana untuk membuat kedai tempat menjual sate, sekaligus tempat bagi putri keduanya yang sudah berkeluarga untuk berjualan kopi.
Maka disewalah sepetak tanah di salah satu pinggir Danau Maninjau. Namun, dua unit sepeda motor sebelumnya sudah digadaikan, tidak cukup sebagai pembeli kayu untuk mendirikan kedai. Aslinda pun akhirnya mengadu dan meminta izin kepada ninik mamak Suku Tanjung untuk mengambil pohon di tanah ulayat kaum.
Setelah menyelesaikan prosedur secara adat, yaitu mengantongi izin ke ninik mamak Suku Tanjung, Wali Jorong Muko-muko, dan Wali Nagari Koto Malintang, serta diketahui pihak KAN Koto Malintang, penebangan pohon pun dilakukan.
Mengenai tanah ulayat kaumnya yang termasuk kawasan hutan lindung, Aslinda mengaku tidak tahu menahu. Sebelumnya juga memang tidak ada pemberitahuan dari pihak pemerintah terkait hal itu. Yang dia tahu, sejak dulu lahan tersebut merupakan bagian dari tanah ulayat kaumnya.
“Kalau memang harus ditahan, saya yang mesti ditahan karena saya yang menyuruh menebang,” kata Linda.
Datuak Majo Sati selaku ninik mamak membenarkan bahwa dari dulu memang begitu aturan secara adat dalam mengambil kayu di tanah ulayat. Kayu hanya boleh diambil untuk keperluan sehari-hari masyarakat adat. Jenis pohonnya juga ditentukan dan jumlahnya tidak boleh lebih dari dua batang. Setelah ditebang, bibit baru harus ditanam kembali.
“Tanah itu sudah empat generasi dimiliki Suku Tanjung. Sudah sekitar 200 tahun,” ujar Datuak Majo Sati.