Sepintas Sejarah Pasa Ateh, Hegemoni Ekonomi Bukittinggi

Sepintas Sejarah Pasa Ateh, Hegemoni Ekonomi Bukittinggi

Pasa Ateh (Foto: 2.bp.blogspot)

Berikut lintasan sejarah Pasar Bukttinggi:

Bersamaan dengan pembangunan Pasa Ateh, Belanda juga membangun jalan dan tangga yang menghubungkan antara tempat yang satu dengan tempat yang lain.

Kemudian, pada tahun 1890 dibangun loods (los = bangunan panjang untuk tempat berjualan), yang berada di tengah-tengah pasar.

Los yang di bangun tersebut dinamakan Loih Galuang (Los melengkung) hal ini disebabkan karena bentuk atap setengah lingkaran.

Pada perkembanganya, tahun 1896, di bangun los di bagian Timur, untuk pedagang kain dan toko kelontong. Tahun 1900, untuk penjual daging dan ikan segar dibangun satu los (sekarang los lambuang, tempat jual nasi kapau).

Los ini dibangun di sisi bukit sebelah Timur, agar limbah air dapat dialirkan ke selokan di bawah bukit. Lokasi los yang terletak di kemiringan, warga Bukittinggi menyebutnya pasar teleng (miring). Rumah potong sapi terletak di sisi Selatan (Jl. Pemuda), di pinggir anak sungai. Pasar ternak berada 500 m ke arah Barat.

Dengan menyebut pasar Bukittinggi dengan pasar Fort de Kock Tahun 1900, Belanda membangun pasar secara permanen, pasar itu disebut loih galuang, karena bentuk atap yang melengkung, sekarang disebut Pasar Atas.

Tahun 1901-1909, pada masa pemerintahan Controleur Oud Agam, L.C. Westenenk, dibangun 3 los, bersebelahan dengan los galuang, satu los di Timur Laut, lokasi lebih rendah, untuk penjual ikan kering (loih maco).

Sedangkan dua los lagi terletak di kaki bukit dengan lokasi agak datar dan terletak lebih rendah, dinamakan pasar bawah. Los pasar bawah membujur Utara-Selatan, sejajar, untuk penjual kelapa, beras, buah-buahan dan sayur-sayuran. Dekat stasiun kereta api, ada pasar Aua Tajungkang. Penjual diizinkan mendirikan toko.

Tahun 1923 dibangun 8 (delapan) blok rumah toko, setelah kios pedagang sisi Barat dan Timur Loih Galuang dirobohkan.

Sebelah Barat, ada 4 blok sejajar (Muka Pasar), sedangkan di sebelah Timur ada 4 blok, berjajar dua (Belakang Pasar).

Belanda memberikan izin pada penjual Cina dan Keling (India) untuk mendirikan toko. Penjual Cina berada sebelah Barat (sekarang Jl. A. Yani atau kampung cina). Penjual dari India berada di sebelah Utara, dikenal dengan nama kaliang (Kampung Keling).

Belanda membuat akses menuju Pasar Atas dari berbagai sudut, berupa tangga (janjang) : janjang Ampek Puluah, janjang gudang dan jalan pasar lereng. Lahan yang terbatas menyebabkan Belanda membuat beberapa pasar berdasarkan jenis barang yang dijual. Seperti daging dan ikan basah di Pasar Lereng, sayur, buah, dan kelapa di Pasar Bawah.

Sejak masa pemerintahan Belanda sampai saat ini, Pasar Atas sudah beberapa kali mengalami renovasi, karena kebakaran.

Tahun 1980-an, Pasar Atas merupakan pusat penjualan kain (tekstil).Tahun 1990-an, sampai saat ini, menjadi pusat penjualan mukena, sulaman baju, dan hijab.

Pada tahun 1949, berdasarkan UU No. 22 tahun 1948 pasal 1 tentang pokok-pokok pemerintahan didaerah dan ketetapan Gubernur Militer Sumatera Tengah No. 167/GM/Stg/Ket-1949 maka penguasaan pasar berada sepenuhnya pada pemerintah kota Bukittinggi.

Semenjak dikeluarkannya pasal 1 tersebut, penghasilan atau pendapatan pasar Bukittinggi tidak lagi dibagi-bagikan kepada seluruh wilayah nagari Agam Tuo. Akan tetapi, digunakan sebagai kas dan untuk perbaikan pasar.

Seiring dengan pesatnya perkembangan Pasar Atas, membuat pasar ini dipadati oleh para pedagang dan pembeli.

Selain Pasar Bukittinggi yang terpusat di sekitar Jam Gadang, di Bukittinggi juga ada pasar grosir yang disebut Pasar Aur Kuning. Pasar yang berdampingan dengan terminal ini, baru ada pada dekade 1980-an.

“Aur Kuning dulu tanah orang Kurai yang ‘dirampas’ Jepang. Kemudian menjadi milik Pemda Bukittinggi setelah merdeka,” ujarnya.

Pasa Rang Agam

Jika Pakan Kurai merupakan prasyarat sebagai sebuah nagari, maka Pasa Ateh, menjadi simbol berdirinya sebuah kota. Pasa Ateh sebagai sebuah pasar Bukittinggi, merupakan milik masyarakat Agam. Sebab, beber Zul, pasar tersebut dibangun oleh tenaga-tenaga rodi dari nagari-nagari Agam Tuo atau Agam bagian Timur.

Pedagang yang berjualan di pasar ini bukan hanya warga Bukittinggi, melainkan dari Agam Tuo seperti dari Banuhampu, Kamang, Guguak Tinggi, Guguak Randah, dan sekitarnya.

Pembeli di pasar atas ini beragam, mulai dari masyarakat ekonomi menengah kebawah sampai kepada masyarakat yang memiliki ekonomi yang berlimpah, baik pembeli yang berasal dari daerah setempat sampai pada wisatawan yang berasal dari luar kota Bukittinggi.

Maka tidak mengherankan, jika Bukittinggi disebut dengan Koto Rang Agam. Begitu juga dengan Pasa Ateh yang disebut dengan Pasa Rang Agam.

Berhubung berdirinya Pasa Ateh di masa pemerintahan kolonial Belanda, pasar juga dijadikan senjata bagi Belanda ‘menjinakkan’ para kaum adat.

Menurut Zul, para pengulu kepala diberi ’rumah’ di dekat jalan ke kebun binatang. Mereka secara bergiliran disilahkan Belanda untuk memungut pajak ke padagang yang berjualan di pasar tersebut.

“Para penghulu itu menyebut giliran mereka dengan babantai gadang (kalau tidak salah). Untuk mengatakan, hari itu giliran mereka mendapat ‘bagian’atau keuntungan dari pasar,” bilang Zul.

Kebijakan Controleur J van Hangel mengingkari Persetujuan tahun 1858, dimana Penghulu Nagari Kurai tidak diikutsertakan dalam menentukan kebijakan Pasar Bukittinggi.

Keuntungan yang didapatkan dari sewa toko, tanah, gudang, warung, los, dan pajak pasar cukup besar dilepaskan oleh pemerintah Belanda.

Oleh karena itu, Penghulu Nagari Kurai merasa terpinggirkan, sehingga mereka menggugat pembangunan los pasar itu yang didirikan di atas tanah ulayat Nagari Kurai. Mereka juga menggugat kebijakan pemerintah yang banyak merugikan Nagari Kurai.

Sejak mengambil alih Bukittingi secara penuh tahun 1888, pemerintah Hindia Belanda, mulai memegang kendali Pasar Bukittinggi secara penuh.

Berganti kekuasaan, berganti pula formula memandang kekuasaan. Bagi Belanda, melancarkan keuntungan di negeri kekuasaan, mesti menundukkan para pimpinan feudal seperti kaum adat.

Sementara di masa Jepang, sumber ekonomi dihisap secara total tanpa membagi sedikit pun ke kelompok penguasa lokal.

Disebutkan Zul, sejak zaman Jepang, para penghulu kepala tidak lagi mendapat ‘jatah’ dari pengelolaan pasar. Berikutnya, sejak tahun 1947, pengelolaan pasar diambil alih oleh pemerintah Bukittinggi, seiring ’penyerahan’ nagari Kurai menjadi bagian integral Kota Bukittinggi. (Tim)

Halaman:

Baca Juga

Calon Wali Kota Padang
Calon Wali Kota Padang
One Way Uji Coba, Pemprov Sumbar Rencanakan Hujan Buatan Atasi Gangguan Penerbangan
One Way Uji Coba, Pemprov Sumbar Rencanakan Hujan Buatan Atasi Gangguan Penerbangan
Pemko Padang Lelang 64 Mobil, Cek di Sini Daftar Kendaraan, Syarat dan Ketentuannya
Pemko Padang Lelang 64 Mobil, Cek di Sini Daftar Kendaraan, Syarat dan Ketentuannya
Alokasikan Rp137 Miliar, Pemprov Target Perbaikan Jalan Rusak Tanah Datar selesai 2024
Alokasikan Rp137 Miliar, Pemprov Target Perbaikan Jalan Rusak Tanah Datar selesai 2024
Ada Perubahan, Ini Aturan Terbaru soal One Way Padang – Bukittinggi dan Pembatasan Angkutan
Ada Perubahan, Ini Aturan Terbaru soal One Way Padang – Bukittinggi dan Pembatasan Angkutan
Gubernur tak Melaporkan Bupati Solok, Cuma Meneruskan Surat Ketua DPRD ke Kemendagri
Gubernur tak Melaporkan Bupati Solok, Cuma Meneruskan Surat Ketua DPRD ke Kemendagri