Pengalaman Penulis Sumbar di Ubud, Digeledah Polisi Hingga Tawaran Radio Asing

Pengalaman Penulis Sumbar di Ubud, Digeledah Polisi Hingga Tawaran Radio Asing

Ade Efdira (paling kanan) saat tampil di UWRF 2011 (foto:ist)

Lampiran Gambar

Ade Efdira (paling kanan) saat tampil di UWRF 2011 (foto:ist)

Padangkita.com - Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) kembali digelar tahun ini. Dua penulis asal Sumatera Barat (Sumbar) Mohammad Isa Gautama dan Muhammad Subhan terpilih mengikuti ajang internasional itu.

Namun, keikutsertaan penulis asal Sumbar bukan kali pertama. Dimulai dari Gus TF Sakai (2004), Iyut Fitra (2008), Romi Zarman dan Esha Tegar Putra (2009), Arif Rizki, Magriza Novita Syahti, Andha S, dan Zelfeni Wimra (2010), Pinto Anugrah dan Ragdy F. Daye (2011), Budi Saputra (2012), Gusrianto (2013), S Metron Masdison dan Rio Fitra SY (2014), Deddy Arsya (2015), dan Soetan Radjo Pamoentjak (2016). Mereka berhasil menyisihkan ratusan penulis.

Kehadiran penulis asal Sumbar di UWRF membuktikan eksistensi mereka diperhitungkan oleh masyarakat penulisan nasional bahkan internasional. Selain itu juga untuk mendorong penulis – penulis muda di Sumbar agar lebih kreatif dan aktif berkarya.

Ragdi F Daye atau Ade Efdira (Ade) peserta UWRF 2011 berkisah, untuk ikut iven tersebut ia mengirimkan kumpulan cerita untuk diseleksi. Ia mengaku tertarik ikut UWRF karena banyak pengalaman dan inspirasi yang bisa didapat di sana.

“Terbuka ruang diskusi bersama penulis dari berbagai negara, termasuk penulis - penulis kontroversial. Apalagi tiap tahun UWRF mengangkat tema-tema lokal yang universal," ungkap Ade kepada Padangkita.com, Rabu (12/7/17).

S Metron, peserta 2014 menyebut UWRF sebagai salah satu festival sastra terbesar di dunia. Karenanya banyak penulis yang sangat berminat untuk hadir sebagai peserta.

“Saat itu (2014) ada 525 peserta yang melamar. Terpilih 15 orang. Dari Sumbar, saya dan Rio Sy Fitra. UWRF itu festival sastra nomor enam terbesar di dunia saat itu, sekarang mungkin sudah naik peringkatnya," ujar Metron.

Selain menikmati keindahan Pulau Bali, bertemu sesama penulis, UWRF memberikan banyak ilmu, khususnya untuk dunia sastra, kepenulisan, jurnalistik hingga kuliner.

"Ada jaringan penulis dan penerbit, koleksi yang diterbitkan dan diterjemahkan, serta referensi proses kreatif, dan jalan-jalan gratis, heeehe," ujar Ade.

"Kita jadi tau perkembangan sastra terbaru di dunia dan mendapat  jaringan. Bahkan saya ditawari ke Inggris. Sayangnya hingga kini belum terwujud karena kendala teknis," ungkap S Metron.

Meski saat itu (2014) peminat naskah drama masih sedikit, namun menurut S. Metron panitia tetap memberi perhatian. Bahkan ada acara khusus untuknya, karena ia penulis tunggal untuk drama saat itu.

Kolumnis sepakbola di koran berjaringan di Padang itu juga berbangga, karyanya disebut punya stuktur yang tidak lazim seperti naskah drama lainnya. Bahkan naskah itu disebut sulit diterjemahkan ke bahasa asing, karena banyaknya idiom Minangkabau. Karena keunikan naskahnya, S Metron pun diwawancarai salah satu radio Australia, bahkan ia mengaku ditawari sebagai penyiar.

"Saya juga disandingkan dengan dua novelis perempuan baya dari Inggris dan Mexico. Moderator, dosen dan penulis naskah drama di Australia, mangakui naskah drama saya tidak menurut struktur drama yang dikenalnya. Bahkan penterjemah naskah pun mangaku naskah saya paling sulit karena banyak idiom Minangkabau. Usai diwawancara radio Australia, saya ditawari pula untuk jadi penyiar “ ujar S. Metron sambil tertawa.

Lampiran Gambar

S.Metron, saat tampil di UWRF 2014 (foto;Ist)

Digeledah Polisi

Selain pengayaan ilmu bidang kepenulisan, pengalaman menegangkan juga dialami Ade Efdira selama berada di Bali. Ia bahkan sempat digeledah dan diinterogasi polisi usai pementasan.

“Usai baca cerpen di pentas seni jalanan, saya didatangi intel dan diinterogasi bahkan digeledah, mungkin karena ber jenggot dan nyandang-nyandang ransel. Mungkin disangka teroris. Ada sekitar 10 sampai 15 menit dan dibawa ke tempat gelap. Bang Kuyut (Iyut Fitra) dan Kotik (Pinto Anugrah) sempat cemas," ujar Ade.

Tingginya minat penulis untuk mengikuti UWRF dan rutinnya penulis asal Sumbar yang terpilih ikut serta Ade Efdira menilai Sumbar juga harus memiliki iven sejenis. Namun ia pesimistis hal itu bisa terealisasi.

"Kalau bisa (digelar) bagus juga. Kerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Dinas Pariwisata. Cuma di Sumbar agak susah sepertinya. Mengurus seniman tidak gampang, apalagi cari sponsor," katanya.

Harapan serupa juga disampaikan S. Metron. Menurutnya Minangkabau merupakan salah satu narasi terbesar dunia, seperti Mesir, Yunani, Cina dan India.

“Untuk mewujudkannya harus dicari orang kaya yang “gila” ke Sastra. Kalau masih sastrawan yang mengadakan, rasanya sulit. Kecuali kalau seluruh seniman Sumbar bersatu. Saya yakin bisa," ujarnya.

Meski belum seperti UWRF, namun menurut S. Metron, langkah untuk ajang pertemuan sastrawan sudah ada di Sumbar, seperti di Payakumbuh dan Padang Literary Biennale. Selain itu menurut Ade Efdira juga ada iven sastra di Padang Panjang.

Tag:

Baca Juga

Novel Burung Kayu
Novel Burung Kayu: Meneroka Sastra Lisan Mentawai
Bahasa Indonesia pada Film
Bahasa Indonesia pada Film
160 Pembicara dari 30 Negara Tampil di Ubud Writers and Readers Festival 2017
160 Pembicara dari 30 Negara Tampil di Ubud Writers and Readers Festival 2017
Nasehat Papa Kepada Sastrawan Muda
Nasehat Papa Kepada Sastrawan Muda
2 Buku Karya Anak Muda Minang Terbit Bulan ini, Siapa Saja Mereka
2 Buku Karya Anak Muda Minang Terbit Bulan ini, Siapa Saja Mereka
2 Penulis Sumbar Ikuti Festival Sastra dan Seni Terbesar se-Asia Tenggara
2 Penulis Sumbar Ikuti Festival Sastra dan Seni Terbesar se-Asia Tenggara