Padangkita.com - Semakin kesini, pelayanan haji di Indonesia terus diperbaiki. Tahun ini, fasilitas penunjang digaransi otoritas penyelenggara lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Fasilitas hotel bintang tiga, catering masakan Indonesia, mobilitas selama di tanah suci yang nyaman, menjadi sederet kemewahan yang dirasakan oleh calon jamaah haji. Semuanya tentu tidak gratis, melainkan kompensasi ongkos haji 2017 misalnya, dengan angka sekitar Rp.34,9 juta.
Naik haji pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari hukum ekonomi. Semakin besar uang yang dikeluarkan, tentu fasilitas dan pelayanan yang didapatkan calon haji, lebih maksimal untuk tidak mengatakan sempurna.
Lalu bagaimana dengan perjalanan haji masa lampau?
Perjalanan haji di masa kolonial Belanda butuh tekad dan keberanian kuat. Butuh waktu berhari-hari, dan ketidakpastian selama perjalanan. Kematian menjadi bayangan yang sering nyata di tengah perjalanan.
Syahdan, naik haji di masa kolonial, jalur laut menjadi satu-satunya bentangan menuju tanah suci. Lautan sakti menjadi kenyataan yang mesti dihadapi. Tidak sedikit mereka berpulang di tengah perjalanan di lautan yang begitu luas.
“Besoknya berlayar dari Aden, angin badai langsung menghampiri. Kapten tidak memprediksi, ditandai dengan terbukanya pintu perka kapal. Akibatnya, semua orang mendapat kesusahan, semua orang dalam kapal berhimpit-himpit dengan peti, pecah kepala, putus kakinya, hilang sama sekali tidak dapat bangkainya, kemungkinan jatuh ke laut. Diperkirakan ada 100 orang meninggal di malam itu juga. Yang meninggal di buang ke laut tanpa dimandikan, dikafani, dan disembahyangkan,” kisah Haji Moesa, asal Singkarak, Sumatera Barat.
Haji Moesa, (45) dengan panggilan Si Tang Kin gelar Raja Moeda, menjadi saksi kunci perjalanan tidak manusiawi kapal uap Samoa dari Jeddah – Mekah – Padang.
Senin, 28 Agustus 1893, Haji Moesa dipanggil pemerintah kolonial, yang turut dihadiri biro perjalanan haji Herklots dan Firma Alsegoff & Co, untuk diminta keterangannya mengenai perjalanan haji yang cukup mengerikan tersebut.
Petani asal Singkarak ini kemudian mencurahkan pengalamannya dari Mekah hingga sampai di Padang.
Haji Moesa bercerita, jemaah haji yang telah menunaikan haji di Mekah, kesulitan mendapatkan kapal menuju Hindia Belanda. Sebab, kapal lebih terkonsentrasi di Jeddah.
Sehingga kebijakan yang berlaku, jika ada kapal yang hendak berlayar ke Padang dari Mekah, jemaah haji yang hendak menumpang, baru membayar ongkol kapal kepada otoritas setempat disaksikan konsul.
Suatu waktu, Haji Moesa mendengar kabar akan ada kapal yang berangkat dari Mekah menuju Hindia Belanda.
Ini berkat lobi dari Prekoloos, seorang Belanda yang menjadi mualaf. Dia melobi Raja Mekah supaya dia diberi kapal menuju Hindia Belanda. Rayuan mautnya; uang diberi sebagian kepada Raja Mekah.
Raja Mekah menyetujui. Kemudian Raja memerintahkan Syeikh Doemaat, mengumumkan kepada jemaah haji yang hendak berangkat ke Hindia Belanda, khususnya Padang, bayar 37 ringgit Hollanda.
Sementara jika turun di Pulau Penang (Malaysia sekarang), 31 ringgit burung. Sedangkan ke Jawa sama dengan Padang.
“Siapa yang tidak mau bayar, ditangkap laskar. Jika syeikh menggratiskan seseorang, maka syeikh dipecat,” bilang Haji Moesa.
Haji Moesa dengan uang yang terbatas, tidak bisa berbuat banyak, kalau ingin pulang. Sehingga dia pun menjadi bagian rombongan yang naik kapal tersebut, setelah membayar sewa 37 ringgit Hollanda.
Tidak sampai disitu, jemaah juga diberi pilihan, jika ingin pindah kapal pas transit di Jeddah boleh saja, namun konsekuensinya, uang 37 ringgit tersebut tidak dikembalikan.
Pilihan tidak adil ini dilandasi dengan kesadaran pada keuntungan. Syeikh tersebut melihat, kapal dengan nama Samoa penuh sesak. Sehingga sangat tidak nyaman. Haji Moesa memperkirakan, ada sekitar 3300 orang didalamnya.
Ketika sampai di Pelabuhan Jeddah, bagi mereka yang mampu memilih pindah kapal. Di Pelabuhan Jeddah tersebut, kisah Haji Moesa, banyak kapal yang hendak ke Hindia Belanda.
Dan kenyataannya, ongkos kapal-kapal yang ada, dengan tujuan sama yakni Hindia Belanda, jauh lebih murah dibanding kapal Samoa.
“Kapal lain sewanya cuma 15 ringgit, ada juga 10 ringgit. Jika orang mau naik di lain kapal, uang yang telah diberikan di Mekah, hilang begitu saja,” ungkapnya.
“Satu, dua orang memilih turun dari kapal Samoa, dan naik kapal lain, meski kehilangan uang 37 ringgit. Sebab kapal Samoa ini sesak, ada sekitar 3300 orang. Sehingga tidak bisa tidur dan tidak boleh sembahyang,” Haji Moesa kembali menuturkan.
Moesa yang tidak punya uang, memilih tetap melanjutkan perjalanan ke Padang dengan kapal Samoa.